Bad 81
Bad 81
Bab 81
Saat itu sekitar pukul 10.00 pagi kсtika Helen sedang mengelilingi toko Louis Vuitton di sebuah mal mewah. Ketika sedang melihat-lihat berbagai tas yang dipajang, ponsel Helen berbunyi. Ia menjawab telepon itu dengan kasar, “Hei, Ibu.”
“Helen, apakah kamu sedang tidak memiliki uang lebih? Adikmu saat ini perlu membayar uang sekolah, maka kami pikir kamu bisa membantu.”
“Dari mana aku bisa mendapatkan uang, Bu? Aku sendiri tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saat ini, jadi aku tidak bisa membantu,” jawab Helen, membuat kecewa ibunya.
Beberapa saat kemudian, suara nyaring ibunya memenuhi jalur telepon. “Lalu memangnya apa yang kamu kerjakan belakangan ini? Pasti kamu hanya bermalas-malasan, bukan? Rupanya ibu membesarkanmu selama ini hanya untuk menjadikanmu orang yang tidak berguna sampai sampai kau tak bisa membantu kami memberi 4 juta saja! Merenunglah, bahwa kamu anak yang tidak berbakti!”
Helen masa bodoh dan mendengarkan ucapan kasar ibunya dengan tenang. Setelah perempuan tua itu puas dengan penghinaan yang diucapkan dalam waktu singkat, Helen menutup teleponnya. Saat itulah Helen menoleh ke arah asisten toko, dan dengan nada suara yang terdengar seakan sedang memerlukan pelampiasan kekesalan, ia membentak, “Jumlahkan harga semua tas yang ada di rak ini sekarang juga.”
Asisten itu menatapnya ragu. Ia mendengar semua yang Helen katakan di telepon baru saja sehingga hampir tidak percaya kalau gadis itu memiliki uang untuk membayar semua tas ini.
Ahh, ternyata, sambil cekatan menggesek kartu kredit tak berbatas miliknya, Helen membayar semua tas dan meninggalkan toko itu sambil mendengus.
Sore itu, Maria sedang duduk di tepi kursi yang berseberangan dengan Helen sambil mengamati sekeliling restoran mewah itu. “Ini pertama kalinya aku datang ke tempat mewah seperti ini, Helen! Luar biasa!”
Helen mengangkat gelas ke bibirnya seanggun yang ia bisa dan menyeruput. “Ceritakan padaku perkembangan terbaru tentang Tasya, Maria.”
“Kamu tahu tentang lomba desain perhiasan yang baru-baru ini diadakan? Ternyata, desain Tasya berhasil sampai babak final, dan pemenangnya akan diumumkan minggu depan. Jika menang, dia akan mendapat hadiah uang sebesar dua milyar!” Maria memberikan informasi ke perempuan itu dengan rasa cemburu tersirat di matanya.
Helen ikut terkejut mendengarnya. “Apa? dua milyar?”
“Betul! Lomba seperti ini biasanya membatasi hadiah uang sampai sekitar 200 juta tetapi yang kudengar Presdir Prapanca tahun ini begitu dermawan dan menaikkan hadiahnya sampai dua milyar. Benar-benar terobosan hebat.”
Helen menguatkan pegangan tangannya pada cangkir. Jika pegangannya ia kencangkan sedikit lagi, gelas itu bisa pecah. Rupanya Elan yang menaikkan hadiah uangnya? This is property © NôvelDrama.Org.
“Presdir Prapanca benar-benar dermawan,” Maria melamun dengan helaan napas penuh harap.
Helen langsung berpikir kalau ini merupakan cara Elan untuk membalas budi ibu Tasya, yang berarti sudah diatur sedemikian rupa Tasya akan memenangkan lomba dan mendapatkan hadiah uang tunai dua milyar.
Elan menggunakan kekuasaan di beberapa industri di bawah konglomerasi, tentu hal mudah baginya memanipulasi hasil lomba desain perhiasan. Karena, sebagaimana mestinya, bukan lagi sesuatu yang mengejutkan jika Tasya yang akan jadi pemenang.
Tidak, aku tidak akan membiarkan dia melenggang, mendapatkan uang itu dengan mudah. Aku tidak akan membiarkannya memenangkan lomba itu tanpa berkeringat sedikit pun! Helen dipenuhi amarah seakan ingin menendang Tasya keluar dari Jewelia dan melenyapkannya dari industri desain selama- lamanya. Aku ingin reputasinya hancur berkeping-keping!
Lomba desain perhiasan kali ini adalah kesempatan terbaik untuk Helen mengusir Tasya. Kita lihat saja apakah kamu masih bisa berdiri tegak saat kehormatanmu lenyap seketika.
Setelah makan siang, Tasya kembali ke kantor dengan uang tunai 200 juta di tangan. Ia mengambil tas berisi uang dan berjalan ke ruang kerja presdir, lalu mengetuk pintu. Roy yang membuka pintu itu dari dalam, dan sambil memandangnya, Tasya bertanya, “Apa Presdir Prapanca ada di tempat?”
“Ya, ada,” jawab Roy dengan sopan.
Tasya mengangguk. “Ada sesuatu yang ingin kudiskusikan dengan beliau.” Setelah itu, ia masuk melewati pintu dan melihat Elan tengah duduk di sofa, terlihat tengah terpaku membolak balikkan tumpukan dokumen yang menggunung.
Menyadari kedatangan Tasya, Elan hanya sekilas mendongak menatapnya, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada tumpukan dokumen di depannya sambil bertanya datar, terkesan tak berminat, “Ada sesuatu yang bisa kubantu?”
Tanpa basa-basi, Tasya menaruh setumpuk uang tunai di hadapan Elan dan berkata, “Aku ke sini untuk mengembalikan 200 juta hutangku padamu.”
Pulpen Elan berhenti sejenak di halaman dokumen, lalu bergerak kembali untuk menandatangani dan menutupnya. Setelah selesai, ia menengadah sambil berkata dingin, “Tunggu dulu, Tasya. Ambil kembali uangmu inil”
Demi rasa cintanya pada uang, Tasya tidak ingin menyimpan sesuatu yang bukan haknya. Ia membalik badan sambil berkata, “Donasikan saja uangmu ini untuk amal jika kamu benar-benar tidak tahu akan dihabiskan untuk apa. Di dunia ini masih ada orang yang akan menghargai kebaikanmu ini.”
Ucapann itu mendorong Roy, yang berdiri di samping, angkat bicara atas nama bosnya. “Nona Merian, Presdir Prapanca sudah memiliki yayasan amal atas namanya sendiri, dan setiap tahun menyumbang trilyunan ke yayasan itu,” katanya.
Saat mendengarnya, Tasya tersentak sambil terbatuk kikuk. “Kalau begitu, anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa.” Tasya tersipu malu dan pergi meninggalkan ruang kerja Elan.