Bad 80
Bad 80
Bab 80
Pada saat itu, Tasya mendapat telepon dari ayahnya. “Halo, Ayah.” NôvelDrama.Org: text © owner.
“Tasya, rumah barumu sudah siap untuk ditinggali, dan Ayah akan menyuruh orang untuk membantumu memindahkan semua perabotan ke sana dalam dua hari ini. Bagaimanapun rumah itu akan menjadi milikmu, jadi kamu harus memastikan dirimu nyaman di dalamnya.”
“Baik, aku akan mengemas semua barangku dan harus selesai dalam dua hari.”
“Tasya, Ayah minta maaf atas apa yang terjadi dengan Jodi waktu itu. Kalau saja Ayah lebih berhati- hati, mungkin kejadian itu tidak akan menimpanya.”
“Tidak apa-apa, Ayah. Lagipula nasi sudah menjadi bubur, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan.” Tasya menenangkan Frans, dan menurutnya kejadian itu sepenuhnya bukan kesalahan ayahnya.
“Baiklah, setelah segala urusan pindah rumah selesai, kita harus makan bersama.”
“Tentu! Kalau begitu aku minta Jodi untuk berbicara dengan Ayah.” Tasya memberikan teleponnya ke anak laki-lakinya, kemudian mulai mengemas pakaiannya.
Keesokan paginya, sepenjuru kantor penuh dengan suasana gembira karena hari itu seluruh karyawan akan menerima gaji. Jewelia merupakan salah satu dari sedikit perusahaan yang menjamin jenjang karir dan juga gaji yang menggiurkan pada tiap karyawannya, tetapi sejak dikelola oleh Grup Prapanca, semua mendapat kenaikan pada gaji pokoknya yang membuatnya semakin menguntungkan.
Tepat pukul 8 pagi, sebagian besar karyawan mendapat pesan elektronik yang menginformasikan bahwa gaji mereka sudah dibayarkan. Di waktu yang sama, Tasya juga mendengar notifikasi dari ponselnya, di mana ketika dibukanya tertera gabungan gaji dan bonus senilai 136 juta. Meskipun
hampir selalu dimanfaatkan oleh Jimmy, Tasya bersyukur bahwa my akhirnya membayar semua yang seharusnya ia lakukan; Tasya merasa senang karena mendapat komisi yang memang sudah menjadi haknya. Lagipula, gaji pokoknya hanya sedikit lebih banyak dari 20 juta, tanpa komisi. Saat itu, ia merasa sedih ketika mengingat kehilangan penghargaan senilai 3,6 juta sebelum ini.
Tidak lama kemudian, Tasya mendapat pesan lagi. Saat membuka dan membacanya, ia menyadari kalau rekening banknya mendapat tambahan 200 juta. Tunggu dulu. Apakah aku baru saja mendapat 200 juta dari perusahaan? Apakah terjadi kesalahan oleh Divisi Keuangan? Mata Tasya tak berkedip, bertanya-tanya dari mana uang ini karena komisinya sudah termasuk dalam gaji. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengkonfirmasi dengan departemen keuangan jika saja ini adalah kesalahan karena ia tidak ingin kecewa. Sesaat setelah menelepon departemen keuangan, panggilannya langsung disambungkan ke ruang direktur.
Halo, Direktur Erman. Aku ingin bertanya mengenai gajiku karena baru saja mendapat tambahan sebesar 200 juta. Apakah ini suatu kesalahan atau hal lain?
“Aku tahu kamu akan bertanya, Nona Merian. Sebenarnya, transaksi pertama adalah gaji bulananmu, sedangkan yang berikutnya adalah atas perintah langsung dari Presdir Prapanca, tetapi aku tidak yakin mengenai rincian pastinya. Mungkin kamu bisa bertanya sendiri kepada beliau.“
Dalam sekejap, Tasya hanya bisa mendengar dengungan di kepalanya, merasa tidak percaya bila baru saja mendapat 200 juta dari Elan. Kenapa ia memberiku uang sebanyak ini? Kemudian ia menutup telepon dan menelepon ruang presdir.
“Halo?” Terdengar suara laki-laki yang karismatik tetapi agak lamban.
“Mengapa kamu memberiku 200 juta?”
“Aku sudah berjanji pada Jodi untuk menaikkan gajimu, maka begitulah,” jelas Elan.
Tasya tertegun karena tidak menyangka Elan akan benar-benar menaikkan gajinya dengan memberi tambahan sebesar 200 juta. Meskipun tidak masalah baginya menerima beberapa juta atau lebih, ia justru sulit membenarkan sikapnya menerima 200 juta dari laki-laki itu. Takut bila uang sebesar ini akan menimbulkan keterikatan, ia lalu teringat masa ketika sadar bahwa Elan sedang memanfaatkannya. Jadi, seketika Tasya menganggap bahwa Elan membayarnya dengan jumlah sangat besar ini bukanlah pertanda baik.
“Aku akan mengirim kembali uang itu ke rekeningmu. Gajiku tidak perlu dinaikkan olehmu karena aku sudah puas dengan gaji normalku.” Tasya menolak menerima kenaikan gaji dari Elan.
“Yah, kalau begitu anggap saja itu sebagai uang makan Mulai sekarang aku akan sering mampir untuk makan malam.”
“Apa?! Kamu ingin mampir makan malam di rumahku? Kamu bergurau? Sejak kapan aku mengizinkan kamu ikut makan malam denganku terus menerus?” Tasya kehabisan kata-kata.
“Aku membayarmu 200 juta. Bukankah itu cukup untuk menyiapkan bagianku?” Elan tampak tidak menangkap penolakan Tasya.
“Bukan masalah uangnya; dari awal aku memang tidak ingin memasak untukmu.” Tasya menggerutu.
“Silakan saja, pokoknya aku akan tetap berkunjung untuk makan malam, terlepas dari kamu menerima uangku atau tidak. Tetapi setelah itu, awas saja kamu menuduhku sebagai orang yang suka mengambil keuntungan dari orang lain. Elan menyelesaikan kalimatnya dan menutup telepon.
Tasya tidak bisa berkata-kata sambil keheranan apa yang sebenarnya direncanakan Elan. Apakah masakanku begitu lezatnya sampai tak bisa berhenti memikirkannya? Tidak mungkinl Kalau menilai dari alasan yang ia gunakan untuk memberiku uang, laki-laki ini sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar membalas budi. Memikirkan hal itu. Tasya memutuskan untuk menarik uang tunai dan mengembalikannya kepada sore nanti.