Bab 159
Bab 159 Menjemput Adik Ipar
“Rumah lama?”
Ardika mengalihkan pandangannya ke arah Robin dan Selvi.
Sambil menghela napas, Selvi berkata, “Maksud Livy adalah víla yang dibeli oleh
Delvin saat dia baru kembali ke Kota Banyuli. Sejak mulai punya ingatan, dia sudah
tinggal di sana.”
Saat itu, keluarga mereka yang beranggotakan lima orang tinggal di sana.
Elsy memelihara banyak hewan kecil untuk Livy.
Jadi, kesan Livy terhadap tempat itu sangat dalam. Bocah perempuan itu bahkan
sering memimpikan tinggal di sana bersama orang tuanya.
Robin berkata, “Jangan membahas vila itu lagi. Sejak Delvin tertimpa masalah, vila
itu sudah disita oleh pihak bank. Sekarang pasti sudah ada pemilik barunya.”
Selvi langsung menutup mulutnya, kilatan kerinduan melintas di matanya.
Saat itu keluarga mereka yang beranggotakan lima orang sangat bahagia.
Diam–diam Ardika mengingat hal ini dalam hatinya.
Setelah meninggalkan rumah Keluarga Darma, dia meminta Jesika untuk
memeriksa situasi vila itu sekarang.
Karena Livy ingin tinggal di rumah lamanya, maka Ardika tidak akan terburu–buru
membelikan rumah baru untuk mereka.
Setelah mengantar Ardika kembali ke Kompleks Vila Bumantara, Jesika baru pulang.
“Ardika, berani sekali kamu pulang lagi. Karena kamu berbohong, kami sudah hampir mati dimarahi oleh anggota Keluarga Basagita!”
Begitu Ardika memasuki pintu, Desi langsung mengerutkan keningnya sambil
memarahi pria itu.
Kemarin, sepulang Ardika ke rumah, dia mengatakan bahwa Grup Susanto Raya
1/3
+15 BONUS
sudah dikembalikan kepada Keluarga Basagita dan meminta Luna membawa anggota Keluarga Basagita untuk mengambil alih perusahaan itu hari ini. Setelah mendengar berita bahagia ini, tentu saja Desi sangat senang.
Dengan memberi kontribusi sebesar ini, dia sudah bisa menghadapi anggota
Keluarga Basagita dengan percaya diri.
Namun, siapa sangka saat sore hari ini anggota Keluarga Basagita pergi untuk mengambil alih Grup Susanto Raya, mereka malah diusir di depan umum.
Hal ini sudah menyebar ke seluruh Kota Banyuli.
Sekarang Keluarga Basagita kembali menjadi bahan tertawaan lagi.
Tadi, Jacky dan Desi baru dibombardir oleh panggilan telepon anggota Keluarga
Basagita dan dimarahi setengah mati.
“Ibu, ini bukan salah Ardika. Tiga keluarga besar yang tiba–tiba merebut dan mengambil alih Grup Susanto Raya. Kakek dan yang lainnya nggak berani mencari masalah dengan mereka. Karena itulah, mereka menjadikan keluarga kita sebagai
pelampiasan amarah.”
Saat ini, Luna berjalan keluar dari kamar.
Melihat ibunya memarahi Ardika lagi dan Ardika tetap diam saja dimarahi, dia buru-
buru keluar untuk membela suaminya.
Desi mendengus dan berkata, “Siapa suruh kemarin dia berbicara sembarangan di hadapan anggota Keluarga Basagita? Kalau dia nggak berbicara sembarangan, apa kakekmu dan yang lainnya akan menjadikan kita sebagai pelampiasan amarah
mereka?”
Melihat putrinya begitu membela Ardika, dia merasa sangat tidak senang.
“Seperti kata pepatah, putri yang sudah menikah, sudah menjadi milik orang lain. Jelas–jelas Ardika adalah menantu kawin masuk keluarga kita. Tapi, Luna, kamu selalu saja membela orang luar. Untung saja besok putra kesayanganku sudah libur
sekolah dan akan pulang ke rumah, nggak lama lagi akan ada orang yang
membelaku!”
Jacky tidak pernah mengomentari hal ini, sedangkan Luna selalu membela Ardika.
2/3
Di rumah ini. Desi merasakan dirinya seolah sendirian tanpa bantuan siapa pun.
Makin melihat Ardika, dia makin tidak menyukai menantunya itu.
Luna yang dikatai seperti itu oleh ibu kandungnya merasa sangat sedih. “Ibu, siapa bilang aku membela orang luar? Jelas–jelas setiap kali Ibu selalu melampiaskan amarah Ibu pada Ardika. Ibu selalu memarahinya dengan kasar, tapi apa dia pernah membantah Ibu? Apa aku harus diam saja melihat suamiku dimarahi seperti itu?”
“Memang kenapa kalau aku memarahinya? Dia hanyalah seorang pecundang….”
Desi langsung memelototi putrinya.
Melihat ada tanda–tanda pertengkaran besar akan terjadi, Ardika buru–buru berkata,
“Sayang, jangan mengatai Ibu lagi. Sudah benar Ibu melampiaskan amarahnya
padaku. Sebagai seorang menantu, bukankah sudah sepantasnya aku menerimanya?
Siapa sangka Desi tetap tidak bisa membaca situasi dan tidak peduli.
“Hah, ya benar. Kamu memang pandai berbicara dan pandai berpura–pura menjadi
orang baik, sedangkan aku adalah orang jahat!” Setelah memelototi Ardika, Desi
mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Handoko, putranya.
Kemudian, dia memberi Luna sebuah tugas.
“Luna, besok kamu pergi jemput adikmu.”
‘Memang dia berapa tahun? Apa mungkin dia bisa hilang?‘ gumam Luna dalam hati tanpa mengucapkannya secara langsung. Kalau tidak, Desi akan bertengkar
dengannya lagi.
Dia menoleh dan menyerahkan tugas ini kepada Ardika.
“Ardika, besok kamu tolong bantu aku jemput Handoko. Aku harus pergi ke bank untuk mengurus urusan pinjaman, aku nggak punya waktu luang untuk
meniemnutnva Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.
COIN BUNDLE: get more free bonus