Bab 1239
Bab 1239
Bab 1239 Palsu
“Ibu tahu Lathan dan Bianca melakukan kesalahan terhadapmu, tetapi Qiara, berjanjilah pada Ibu bahwa kamu tidak akan melampiaskan amarahmu lagi pada Bianca, oke? Kalian berdua adalah putri ibu. Ibu akan sangat sedih dan tercabik–cabik jika salah satu dari kalian tidak bahagia.”
Qiara mengerti keresahan Maggy, tetapi tidak mengharapkan ibunya akan memahami persoalan yang dihadapinya. Lebih sulit baginya untuk mengatakan pada Maggy mengenai semua perlakuan buruk Bianca terhadapnya.
Dia tidak mungkin mengeluhkan semuanya. Yang bisa dia lakukan hanya memendamnya sendiri.
Hanya dengan menyimpannya sendiri, keluarganya bisa mendapatkan ketenangan.
“Oke, saya akan mencoba untuk tidak mengganggunya,” Qiara berjanji. Orang tuanya sudah melewati satu hari yang berat setelah menghadapi seluruh keluarga Perwira yang tersinggung dan marah, maka dia tidak ingin membuat mereka semakin kelelahan.
“Di mana Bianca? Kenapa belum pulang juga?” tanya Biantara khawatir. “Dia bisa sangat keras kepala. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?!”
Biantara yang khawatir dan ketakutan kemudian menelepon Bianca lagi. Bianca langsung menjawab ketika Biantara bertanya, “Bianca! Kamu di mana? Cepat pulang. Qiara sudah di rumah.”
“Ayah, saya merasa sedih. Saya belum mau pulang.”
“Tidak, kamu harus pulang sekarang! Sudah jam sepuluh. Kirimkan lokasimu sekarang. Ayah akan menjemputmu,” pinta Biantara.
“Baiklah, tetapi saya akan pulang sendiri saja. Ayah tidak perlu menjemput,” ucap Bianca di seberang telepon.
“Ayah akan menyuruh sopir menjemputmu.”
“Tidak, tidak perlu. Saya akan naik taksi.” Setelah itu, Bianca menutup telepon..
Qiara tidak suka dengan kelakuan Bianca ketika melihat orang tuanya gelisah memikirkan putrinya yang pembangkang. Saudara kembar itu memiliki jam malam pukul 10, dan dia tidak pernah membuat orang tuanya khawatir karena selalu pulang tepat waktu.
Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam saat Bianca yang selalu cemberut itu akhirnya tiba di rumah. Kekesalannya semakin terlihat jelas pada raut wajahnya saat melihat Qiara duduk di sofa.
Qiara kemudian berkata, “Apakah kamu tahu bahwa Lathan mengalami kecelakaan mobil tadi?”
“Apa?!” Bianca menjerit karena terkejut. “Kecelakaan mobil apa? Di mana?”
“Di luar restoran. Kamu melepas genggaman tangannya dan kemudian menyebrang jalan. Dia mengejarmu dan ditabrak mobil,” ucap Qiara.
Bianca tersentak beberapa detik. Kemudian, dia ingat kalau lampu hijau hanya tersisa beberapa detik saat dia menyebrang, tetapi tidak tahu bila Lathan menyusulnya. Dia merasa sedikit bersalah, tetapi setelah dipikir ulang, dia merasa Lathan pantas mengalaminya. Dia tidak pernah meminta Lathan untuk mengejarnya, bukan?
“Dia tidak mati. Lalu, kenapa harus diributkan?” tanya Bianca seenaknya.
Tepat ketika itu, Maggy turun menuruni tangga. Ekspresi wajah Bianca langsung berubah drastis, menangis seakan langsung masuk ke dalam karakternya, “Astaga! Apakah Lathan baik–baik saja? Ini semua salah saya. Dia tidak akan mengalami kecelakaan itu jika bukan karena saya.”
Qiara mengernyit dengan jijik saat melihat Bianca langsung berakting begitu Maggy turun ke bawah. “Bisakah kamu
diam?!”
Maggy mendengar apa yang dikatakan Bianca. Dia bergegas turun dan menenangkannya, “Bianca, ini bukan salahmu. Untungnya, Lathan tidak terluka parah. Dia hanya mengalami luka gores.”
“Ibu, maafkan saya. Hari ini saya sudah mempermalukan Ibu. Apakah Keluarga Perwira sudah menghina ibu?” Bianca memeluk Maggy, matanya seketika memerah.
Qiara melongo saat menyaksikan adegan itu. Bahkan seorang aktris tidak mungkin bisa menangis secepat dirinya. Meskipun terbiasa melihat hal seperti ini, Qiara tetap merasa cemas dan murka pada kenyataan bahwa orang tuanya tidak pernah melihat watak asli Bianca.
“Jangan pikirkan kami, tetapi kamu harus putus hubungan dengan Lathan. Pokoknya Bianca, jangan khawatir. Ayahmu dan Ibu akan mencari suami yang jauh lebih baik untukmu,” ucap Maggy.
Bianca mengangguk kaku. “Baik.” Property belongs to Nôvel(D)r/ama.Org.
“Mandilah dulu. Saya akan meminta Anika membuatkan roti lapis untukmu.”
“Tidak, saya tidak mau. Roti lapisnya tidak enak sama sekali. Ibu, saya ingin memakan roti lapis buatanmu,” Bianca cemberut bahkan meringis jijik meskipun Anika berdiri di samping mereka.
Anika menunduk sedih. Dia sudah memasak lebih dari sepuluh tahun dan percaya diri dengan keahlian memasaknya. Ucapan Bianca tadi benar–benar sudah membuatnya sakit hati.
“Makanan buatan Anika sangat lezat. Mungkin memang tidak pas dengan seleramu saja,” ucap Qiara.
“Lezat? Ew! Ibu, kita harus memecatnya dan mencari tukang masak yang baru. Saya selalu makan menu yang sama setiap hari. Saya bosan!” sindir Bianca dengan nada menghina.
Maggy segera merayunya, “Hush. Sudah, sudah cukup. Sekarang cepat mandi. Ibu akan buatkan roti lapis.