Bab 575
Bab 575 Paling Tidak Tahu Malu
“Apa kamu sudah tuli? Aku memanggilnya sayang!”
Winda memelototi Ardika dengan tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Lucien dan berkata dengan marah, “Lucien, dasar pecundang! Bisa–bisanya kamu nggak mengucapkan sepatah kata pun dan membiarkan presdir sialanmu ini mewakilimu untuk bicara?”
“Aku beri tahu kamu, aku nggak hanya memanggil Aditia sayang, kami bahkan sudah pernah melakukan hubungan suami istri!”
“Benar ‘kan, Sayang?”
Selesai berbicara, dia mengalihkan pandangannya ke arah Aditia dan menatap pria itu dengan tatapan
manja.
“Sayangku, kamu benar.”
Aditia terkekeh dan berkata, “Kami nggak hanya sudah melakukannya. Lucien, hal yang nggak pernah kamu lakukan itu, sudah kami lakukan di hotel semalam! Nggak perlu dipertanyakan lagi betapa
nikmatnya sensasi itu!” This is property © NôvelDrama.Org.
Lucien mengepalkan tangannya dengan erat, dia ingin sekali menerjang ke arah Aditia dan menghantam
mata pria sialan itu!
Namun, dia tetap berusaha menahan amarahnya.
Dia tahu Aditia adalah orang yang sangat licik, mungkin saja pria itu sengaja menyulut emosinya.
Selama dia main tangan, maka kelemahannya sudah jatuh ke tangan pria itu.
“Semalam kalian menginap di hotel bersama?”
Ardika berkata dengan dingin, “Winda, kamu belum bercerai dengan Lucien!”
“Memangnya kenapa? Apa sebagai presdir kamu ingin membantu karyawan pecundangmu itu?”
Winda mendengus dan berkata dengan nada mengejek, “Semalam, kami menginap di Hotel Wolhem
yang berlokasi di Jalan Pertiwi!”
“Memangnya kenapa kalau aku belum bercerai? Kamu ingin melaporkanku atas tuduhan apa?
Berselingkuh atau tinggal bersama secara ilegal?”
“Lucien, selama kamu nggak takut hal mengenal aku berselingkuh di belakangmu tersebar luas, silakan saja tuntut aku.”
“Sungguh konyol! Apa mungkin aku takut padamu?”
Winda adalah orang yang tidak tahu malu.
Dia sama sekali tidak memedulikan tentang reputasinya dan pandangan orang lain terhadap dirinya.
Kalau Lucien membesar–besarkan masalah ini, orang yang malu adalah pria itu.
“Sudah, sudah. Jangan beromong kosong dengannya. Mari kita bicarakan intinya saja.”
Aditia melambaikan tangannya dan berkata dengan serius, “Lucien, aku tanyakan padamu sekali lagi. Kamu akan menyerahkan teknologi–teknologi hak paten yang ada di tanganmu itu atau nggak!”
Lucien berkata tanpa ragu, “Aku nggak akan menyerahkannya!”
Teknologi–teknologi hak paten itu, ada yang miliknya, ada pula milik Grup Bintang Darma. Tentu saja dia tidak akan menyerahkannya kepada mereka.
“Lucien, jangan nggak tahu diri! Kalau kamu nggak menyerahkannya padaku, setelah kita bercerai setengah dari teknologi hak paten itu akan menjadi milikku!”
Suara teriakan dengan keras Winda menarik perhatian para pengunjung kafe.
“Dasar wanita bodoh! Hak paten nggak termasuk dalam aset bersama suami istri. Milikku hanya akan menjadi milikku, kamu sama sekali nggak berhak memilikinya.”
Lucien menatap wanita di hadapannya itu dengan tatapan sangat kecewa.
Dia tidak mengerti mengapa kala itu dia bisa menikahi wanita sebodoh ini.
Aditia mendengus dan berkata, “Hak paten memang bukan aset bersama suami istri. Tapi, keuntungan dari teknologi hak paten adalah aset bersama suami istri.”
“Lucien, bayaran yang diberikan oleh Grup Bintang Darma padamu atas penggunaan hak paten itu juga harus kamu bagikan setengahnya kepada Winda, bukan?”
“Ah, kalau begitu, aku benar–benar berterima kasih padamu. Kelak, kalau aku dan Winda menginap di hotel, membeli kondom dan sebagainya, kami bisa menggunakan uangmu.”
Dia sengaja melontarkan kata–kata itu untuk menyulut emosi Lucien.
“Grup Bintang Darma belum menggunakan hak patenku, mereka juga belum memberiku bayaran! Jangan harap kalian bisa mendapatkan uangku!”
Lucien adalah orang yang polos dan jujur. Saking kesalnya, dia tidak berpikir banyak lagi dan tidak menyadari bahwa Aditia sedang mengorek informasi darinya secara tidak langsung.
“Oh? Grup Bintang Darma belum mendapatkan hak patenmu? Kalau begitu, aku sudah bisa tenang.
Sambil terkekeh, Aditia bangkit dari tempat duduknya. Tiba–tiba, dia mengeluarkan ponselnya dan berkata, “Tuan Muda Handi, silakan masuk sekarang.”
“Kalian memanggil Handi ke sini?”
Begitu mendengar nama Handi disebut, ekspresi Lucien langsung berubah drastis.
Dia masih mengingat dengan jelas kejadian Handi memaksa Delvin melompat turun dari gedung dua
tahun yang lalu.
“Tuan Muda Handi yang meminta kami untuk datang menemuimu.”
Aditia tertawa dingin dan berkata, “Siapa suruh kamu nggak tahu diri? Sudah dua tahun berlalu, kamu masih saja nggak menyerahkan teknologi hak patenmu itu kepada tiga keluarga besar! Tuan Muda Handi sudah berbesar hati membiarkanmu hidup hingga hari ini! Tapi, hari ini kamu sudah wajib
menyerahkannya!”
Sebelum dia selesai berbicara, Handi sudah berjalan memasuki kafe.