Bab 156
Bab 156 Bu Arini
Mendengar ucapan Ardika, Stefanus langsung tertawa.
“Eh, bocah, jangan membual, hati–hati lidahmu keseleo.”
Rebecca juga tertawa dingin dan berkata, “Investor Taman Kanak–Kanak Candika adalah Grup Cetta Moral. Kamu bilang nggak ada seorang pun yang bisa
mengeluarkan bocah sialan itu? Kamu pikir kamu siapa?!”
Ardika malas menanggapi kedua orang itu.
Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Jesika yang sedang
menunggu di luar sekolah. “Jesika, apa kamu tahu Grup Cetta Moral? Siapa bos
mereka?”
“Pak, Anda nggak pernah dengar nama Grup Cetta Moral?”
Jesika merasa agak heran. Namun, dia buru–buru berkata, “Arini adalah presdir
Grup Cetta Moral. Dia membuka perusahaan itu bersama orang lain.”
“Perusahaan itu milik Arini?”
Ardika benar–benar tidak menyangka, pemilik perusahaan itu adalah Arini.
Sebelumnya, dia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui wanita itu membuka
perusahaan apa dan menjalankan bisnis sebesar apa.
Sekalipun dia adalah orang paling kaya, dia tetap harus berlutut dan meminta maaf di depan batu nisan Delvin.
Ardika berkata, “Hubungi Arini dan suruh dia datang ke sini sekarang juga!”
Selesai berbicara, dia langsung memutuskan sambungan telepon.
“Siapa Arini?”
Melihat Ardika memberi perintah dengan ekspresi tegas seperti itu, Rebecca
tertegun sejenak.
Dengan ekspresi aneh yang sulit dideskripsikan dengan kata–kata, Stefanus berkata,
“Bukankah saat acara tahunan perusahaan sebelumnya kamu sudah pernah
bertemu dengannya? Dia adalah presdir Grup Cetta Moral.”
“Ah? Bu Arini, presdir perusahaan kalian?”
Rebe
sangat terkejut.
Dia ingat kala itu Stefanus membawanya menghadiri acara tahunan perusahaan dan sosok Arini yang berpidato di atas panggung.
Dalam acara tersebut, wanita itu sangat mendominasi dan memancarkan aura
layaknya seorang ratu.
“Hei, sebenarnya siapa kamu? Berani sekali kamu memerintahkan Bu Arini datang
ke sini!”
Pertanyaan itu spontan saja keluar dari mulut Rebecca. Saat ini, dia sudah mulai
merasa sedikit ketakutan.
Sementara itu, Stefanus menatap Ardika dengan lekat.
Ardika berkata tanpa ekspresi, “Arini adalah teman sekelasku saat kami duduk di
bangku sekolah menengah atas. Adapun identitas dan latar belakangku, kalian
nggak berhak mengetahuinya.”
“Huh, berlagak hebat apa kamu? Akų sudah pernah menemui semua teman sekelas
Bu Arini!”
Dalam sekejap, Stefanus langsung menghela napas lega.
Kemudian, dia berkata dengan nada meremehkan, “Sebelumnya, beberapa teman sekelas Bu Arini dulu berkunjung ke perusahaan kami. Aku sendiri yang membawa mereka berkeliling. James, Herman, Jimmy, Yudis dan beberapa orang lainnya adalah teman sekelas Bu Arini dulu yang berhubungan sangat baik dengan Bu Arini. Aku dengar sebelumnya kamu juga menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Bahan Bangunan. Kalau kamu memang sehebat itu, kenapa saat itu aku nggak bertemu denganmu?”
“Cih, ternyata kamu hanya berlagak hebat saja. Kamu bilang kamu mengenal Bu Arini, tapi apa dia mengenalmu?”
Rebecca juga ikut tertawa dingin.
Begitu dia selesai berbicara, terdengar suara sepatu bak tinggi yang tergesa–gesa
dari arah luar.
Sesaat kemudian, seorang wanita muncul di depan pintu ruangan.
Seolah–olah berlari sepanjang jalan, rambutnya tampak berantakan. Saking
kelelahan, kedua tangannya bertopang pada gagang pintu dan napasnya tersengal-
sengal.
“Ardika, aku sudah datang!”
Begitu wanita itu mendongak, akhirnya semua orang melihat parasnya dengan jelas.
“Bu Arini!”
Pada saat bersamaan, kepala Stefanus dan Rebecca langsung berdengung, seolah- olah sudah hampir pecah.
Penampilan Arini saat ini sangat berbeda dengan biasanya. Dia tidak terlihat elegan
dan memancarkan aura mendominasi seperti biasanya.
Kalau bukan karena wanita itu berdiri tidak jauh dari hadapan mereka, mereka
masih mencurigai mereka sendiri sudah salah mengenali orang.
Selain itu, Arini tampak sangat takut pada Ardika, seolah–olah khawatir telat
muncul di hadapan pria itu satu detik pun.
Sebenarnya siapa pria itu?!
“Ah, kamu datang lumayan cepat juga.”
Ardika juga agak terkejut dengan kecepatan Arini ke sini.
Dia baru saja memutuskan sambungan teleponnya sekitar satu menit yang lalu,
tetapi Arini sudah muncul di hadapannya.
Setelah mengatur napasnya, Arini berkata dengan nada ketakutan, “Ardika, aku baru saja mendapati putri Delvin bersekolah di Taman Kanak–Kanak Candika. Aku berencana untuk menemuinya sore hari ini dengan membawakan mainan untuknya. Lalu, aku akan mengunjungi orang tua Delvin dan meminta maaf pada NôvelDrama.Org content rights.
3/4
mereka. Tapi, saat aku baru tiba di depan gerbang sekolah, aku sudah menerima panggilan telepon dari Jesika.”
Dalam acara kemarin, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa besarnya kekuatan Ardika, Arini sudah ketakutan setengah mati.
+1S BONUS
Setelah dia diusir dari lokasi acara, dia baru tahu Jenny, James dan beberapa orang
teman lamanya sudah ditangkap.
Saat bersyukur dirinya bukanlah anggota Asosiasi Bahan Bangunan, dia juga merasa
gelisah.
Dia takut Ardika datang membalasnya.
Karena itulah, dia memutuskan untuk berinisiatif meminta maaf dan memberi kompensasi kepada keluarga Delvin. Dia berharap dengan upayanya ini dia bisa
memberi kesan baik pada Ardika.
Saat ini, asistennya berlari dengan tergesa–gesa sambil membawa beberapa bungkusan makanan ringan dan mainan.
Ardika tahu wanita itu tidak berbohong padanya.
Dia berkata dengan dingin, “Anak perempuan dalam pelukanku ini adalah putri Delvin. Sebelum kamu datang, petinggi perusahaanmu dengan arogan mengatakan mau mengeluarkannya dari sekolah ini. Seharusnya kamu sudah tahu apa yang
harus kamu lakukan!”