Bab 552
Bab 552 Sayang Sekali Kamu Buta Hukum
“Pak Dilon, ini adalah presdir perusahaan kami. Dia yang berhak mengambil keputusan untuk
menandatangani kontrak atau nggak.”
Tentu saja Elsy tidak akan membiarkan siapa pun memandang rendah Ardika, jadi dia langsung NôvelDrama.Org © content.
melontarkan kata–kata itu dengan nada datar.
“Presdir perusahaan kalian?”
Dilon melirik Ardika sejenak dengan sorot mata terkejut. Kemudian, dia terkekeh dan berkata, Perusahaan kalian benar–benar hebat. Nggak hanya manajer umumnya masih muda, presdirnya juga
masih muda. Sungguh luar biasa!”
Dia melontarkan kata–kata seperti itu bukan sebagai bentuk hormat atau kagum.
Melihat ekspresi merendahkan terpampang jelas di wajahnya saja, sangat jelas bahwa dia tidak menganggap serius Ardika, presdir muda perusahaan tersebut.
“Oke, kalau begitu mari kita tanda tangan kontrak.”
Dilon mengetuk–ngetuk meja dengan ujung sepatunya.
Elsy mengerutkan keningnya dan berkata dengan nada sedikit dingin. “Pak Dilon, tolong bersikap hormat
sedikit kepada presdir kami!”
Ekspresi Dilon berubah menjadi muram dan hendak melampiaskan amarahnya.
Namun, Ardika malah melambaikan tangannya, lalu tersenyum dan berkata, “Sudah, sudah, ada hal yang lebih penting yang harus kita selesaikan. Aku yakin Pak Dilon adalah orang yang santai, jadi kita nggak perlu mempermasalahkan hal–hal kecil seperti ini lagi.”
“Bu Elsy sudah dengar sendiri, “kan? Adik yang satu ini jauh lebih pandai membaca situasi daripada kamu. Aku suka berinteraksi dengan orang sepertimu, nggak seperti para wanita yang banyak maunya.”
Dilon tertawa terbahak–bahak, lalu mengembuskan asap rokoknya ke arah Elsy.
Elsy menutupi hidungnya dan melangkah mundur satu langkah, lalu mendengus dingin.
Selama dua tahun ini, dia sudah mengalami banyak penderitaan dan sering diinjak–injak oleh orang lain, jadi dia sama sekali tidak mempermasalahkan hal–hal seperti ini.
Hanya saja, melihat Dilon bersikap lancang kepada Ardika, dia benar–benar tidak bisa menahan dirinya.
Dalam lubuk hatinya. Ardika bukan hanya sahabat Delvin, melainkan juga sosok penyelamat keluarga
mereka.
“Ambilkan pena untuk adik ini agar dia bisa menandatangani kontrak,” kata Dilon kepada anak buahnya.
Anak buah Dilon itu langsung melemparkan kontrak dan pena ke meja di hadapan Ardika.
Ardika mengulurkan tangannya untuk mengambil kontrak dan hendak membaca isi kontrak itu sejenak.
“Pla
Tiba–tiba saja seseorang menekan kontrak tersebut di atas meja, lalu memelototinya dan berkata, Suruh kamu tanda tangan, ya tanda tangan saja! Untuk apa kamu lihat–lihat lagi?!”
“Pak Dilon, kami juga harus mengecek isi kontrak terlebih dahulu, bukan? Apa seperti ini sikapmu dalam
berbisnis?!” kata Elsy dengan marah.
Sambil mengembuskan asap rokoknya, Dilon berkata, “Sebelumnya kamu sudah melakukan survei dan sangat puas pada pabrik ini. Selain itu, harga juga sudah kita sepakati.”
“Langsung
tanda tangan kontrak saja, maka pabrik akan menjadi milik kalian dan uang menjadi milikku. Bukankah hanya sesederhana itu saja? Untuk apa dilihat lagi?”
“Cepat tanda tangan!”
Anak buah Dilon segera mengambil pena dan memelototi Ardika.
“Apa sekarang kalian sedang memaksa kami untuk membeli pabrik kalian?”
Elsy tidak bisa diam saja.
Mendengar ucapan Elsy, ekspresi Dilon langsung berubah menjadi muram. Dia mengamati Elsy dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dengan tatapan tajam.
Saking intensnya tatapannya pada Elsy, Elsy merasa sangat tidak nyaman. Kemudian, dia baru membuka mulutnya dan berkata dengan memperlihatkan gigi kuningnya, “Bu Elsy, sebaiknya kamu jangan berbicara sembarangan. Siapa yang memaksa kalian untuk membeli pabrikku?”
Ekspresi Elsy langsung berubah menjadi cepat, dia merasa sedikit ketakutan.
Dia mendengar nada bicara mengancam dalam ucapan pria itu.
“Plak!”
Tepat pada saat ini, Ardika langsung menepis tangan anak buah Dillon yang sedang menekan kontrak itu.
“Bocah, apa kamu sedang cari man?!”
Anak buah Dilon itu menutupi lengannya yang kesakitan dan memelotot Andika dengan sorot mate
terkejut sekaligus marah.
Dia tidak menyangka kekuatan Ardika sebesar itu.
Walaupun hanya terlihat seperti pukulan biasa, dia merasakan lengannya seperti tersambar petir, sampai -sampai lengannya terpental menjauh secara otomatis.
Ardika tidak memedulikannya, melainkan langsung mengambil kontrak tersebut dan melihat isinya.
Kecepatannya dalam membaca kontrak itu sangatlah cepat.
Sesaat kemudian, Ardika mengangkat kepalanya dan bertanya dengan datar, “Elsy, kamu bilang berapa harga yang kalian sepakati sebelumnya?”
Elsy sedikit kebingungan. ‘Eh? Berapa harga yang kami sepakati sebelumnya? Bukankah sebelumnya
aku sudah memberitahunya?”
Namun, dia tetap menjawab, “Satu triliun, uang muka sudah dibayar sebesar 200 miliar.”
“Pak Dilon, sepertinya kamu sangat hebat, ya. Kenapa harga jual di kontrak tertera sebesar empat triliun?
Ardika mengalihkan pandangannya ke arah Dilon dan berkata dengan acuh tak acuh. “Aku nggak menyangka Pak Dilon yang memiliki bisnis sebesar ini ternyata adalah orang yang buta hukum.”
“Kalau kontrak yang dibuat nggak sesuai dengan apa yang telah disepakati, biarpun hari ini aku setuju menandatangani kontrak ini, kontrak ini kapan saja bisa menjadi secank kertas sampab!”