Menantu Pahlawan Negara

Bab 42



Bab 42 Si Gigi Emas yang Sombong 

Vila Cakrawala 

Saat ini, Dengan ekspresi khawatir, Desi menceritakan kepada Luna tentang kejadian tadi pagi di 

mana Bambang datang mengusir mereka. 

“Luna, orang–orang itu bilang kalau mereka akan datang lagi sore ini. Sebaiknya kita pindah saja.” 

Bahkan seorang ibu rumah tangga seperti Desi tahu tentang Jinto. 

“Bu, kalau mereka datang, kita hanya perlu lapor polisi saja. Aku nggak percaya mereka bisa 

bertindak seenaknya.” 

Ini rumah mereka, kenapa mereka harus pindah? 

“Aduh, lapor polisi nggak ada gunanya.” 

Desi yang panik pun melanjutkan, “Preman yang nggak takut mati itu susah dilawan. Kamu 

nggak pernah lihat berita tentang perbuatan preman–preman itu, ya?” 

“Mereka nggak akan memukul, membunuh atau membakar rumahmu. Tapi, mereka akan sering datang mengganggumu, sehingga kamu nggak bisa hidup tenang. Lapor polisi juga nggak bisa 

ditangkap.” 

Setelah mendengarnya, Luna mulai panik. 

Dia mencari Ardíka, lalu bertanya, “Ardika, selain menghajar mereka, apakah kamu punya cara 

untuk mengusir para preman itu? Ini rumah kita, aku nggak mau pindah.” 

Melihat Luna mau datang meminta solusi kepadanya, Ardika merasa senang. 

“Ada solusinya. Tenang saja Sayang, kita nggak perlu pindah.” 

“Serius?” 

Melihat Ardika menjawab dengan santai, Luna malah merasa curiga. 

Di sela berbicara, mereka mendengar suara teriakan dari luar. 

“Luna, cepat sembunyi dulu. Orang–orang itu datang lagi. Kali ini, jumlahnya lebih banyak.” 

Suara Desi yang panik terdengar dari luar. 

Di luar sana, ratusan preman yang membawa golok dan tongkat mendekat dengan wajah ganas. 

Tadi pagi, Bambang banyak membawa belasan orang. 

Kali ini, kedua kaki Desi gemetar karena ketakutan. 

1/3 

+15 BONUS 

Desi teringat dengan Draco yang datang mencari Ardika tadi pagi. Draco memang sangat hebat, dia bisa menendang orang hingga terpental ke danau 

Tadi pagi, untungnya ada Draco yang bisa mengusir beberapa orang itu. 

Namun, Draco sudah pergi. Sekarang, vila ini hanya tersisa mereka sendiri. 

“Tua bangka, bukankah kalian disuruh pindah? Kenapa masih belum pindah?” 

Bambang berjalan mendekat dengan sikap yang sombong. 

Lengannya yang dipatahkan oleh Draco sudah dipasang gips. 

Sambil berkata, dia mengangkat lengan satu lagi untuk menampar Desi. 

“Kalau kamu menamparnya, aku jamin kali ini yang patah bukan lenganmu, melainkan lehermu.” 

Pada saat ini, Ardika berjalan keluar. 

Bambang yang ketakutan langsung menarik kembali tangannya. 

Dia menoleh ke arah Ardika, lalu diam–diam memperhatikan belakangnya. Ketika tidak melihat bocah yang mengenakan kacamata, Bambang pun menghela napas lega. 

“Sayang, bawa Ibu masuk.” 

Ardika tidak lagi memedulikannya. Dia menyuruh Luna kemari karena Desi sudah ketakutan. All rights © NôvelDrama.Org.

“Hati–hati, jangan dilawan. Kalau nggak bisa, kita pindah saja.” 

Setelah berbisik kepada Ardika, Luna segera membawa Desi masuk ke dalam vila. 

“Huh! Hebat sekali kamu. Di hadapan Jinto Yerima, beraninya kamu bilang ingin membunuh 

anak buahku?” 

Diikuti suara yang terdengar dingin dan kejam, para preman segera mundur ke kedua sisi. 

Jinto berjalan keluar. 

“Kamu Ardika, ya? Bambang sudah menyuruh kalian pindah, kenapa nggak pindah?” 

Saat berbicara, kedua gigi depan yang terbuat dari emas tampak menarik perhatian. 

Lalu, Jinto melanjutkan dengan ekspresi masam, “Apakah seratus anak buahku ini harus 

menghancurkan vila kalian, kemudian mematahkan kakimu, kamu baru mau pindah?” 

Ardika tidak menjawabnya, tetapi malah mengeluarkan ponsel. 

“Di mana orang Korps Taring Harimau? Kenapa belum sampai? Suruh mereka segera datang ke 

Vila Cakrawala.” 

213 

Jinto langsung terkejut, lalu menatap Ardika dengan curiga. 

15 BONUS 

3/3 


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.