Bab 4
Bab 4 Herkules
Melihat Ardika yang percaya diri, Luna pun merasa ragu. Setelah memikirkan kondisi keluarganya sekarang, dia pun menggertakkan gigi, lalu berdiri dan berkata, “Kakek, aku akan pergi menagih utang.”
“Kamu! Kamu sudah gila, ya? Kalau sampai wajahmu rusak karena dipukul Kak Herkules, Tuan Muda Tony pasti akan meninggalkanmu.”
Desi langsung panik.
Semua orang terkejut, bahkan Tuan Besar Basagita juga tidak menyangka Luna akan menyetujuinya.
Wisnu dan yang lain hanya mendengkus dingin.
Wisnu tiba-tiba mengeluarkan sepuluh ribu dari sakunya, lalu dilemparkan ke kaki Luna sambil berkata, “Melihat keberanianmu itu, aku kasih sepuluh ribu untuk naik transportasi umum.”
Wulan juga menyilangkan tangannya di dada, lalu mengangkat alisnya sambil berkata, “Kamu sendiri yang mau pergi, ya? Kalau dihajar sampai lumpuh, jangan bilang Keluarga Basagita yang memaksamu.”
Ardika melirik beberapa orang itu dengan tatapan dingin. Dia tidak ingin memedulikan orang-orang tidak penting ini.
Ardika langsung berdiri, kemudian menarik Luna dan berjalan keluar dari vila.
Pada saat ini, Desi dan suaminya benar-benar panik. Desi berkata, “Sekarang, kita hanya bisa meminta bantuan Tuan Muda Tony, dia selalu menyukai Luna ….”
…
Kawasan penjualan mobil.
Sambil membawa dua kantong buah yang baru dibeli, Luna terus mengingatkan Ardika, “Nanti, kamu jangan banyak bicara, jangan sampai Kak Herkules marah, mengerti?”
Setelah mendengarnya, Ardika pun mengangguk. Luna pun merasa lebih tenang.
Ketika mereka ingin mengetuk pintu ruangan kantor Herkules, dari belakang terdengar suara klakson yang keras.
Mereka melihat sebuah mobil Porsche merah muda berhenti di samping. Ketika kaca mobil diturunkan, wajah Wulan yang kejam itu pun terlihat.
“Oi, kalian ternyata berani datang menagih utang, ya? Aku kira kalian hanya membual.”
“Wulan, kenapa kamu datang?” tanya Luna dengan kesal sambil mengernyit.
“Tentu saja datang beli mobil. Memangnya aku sama seperti kalian yang bodoh ini, datang menagih utang dan dihajar?”
Wulan yang memakai kacamata hitam berkata dengan nada sombong, “Setelah kalian pergi, kakek langsung membagikan bonus kepada semua orang. Keluarga kami mendapatkan 4 miliar tahun ini. Dengan uang itu, aku tentu saja harus membeli mobil mewah sebagai hadiah ulang tahun. Nggak seperti kamu, setiap ulang tahun bahkan nggak sanggup makan enak.”
Setelah mendengarnya, Luna sedikit gemetar. Dia juga mengepalkan tangannya.
Ardika pun tersenyum sinis dan berkata, “Wulan, 4 miliar saja, apa yang perlu dibanggakan? Grup Angkasa Sura paling benci orang sepertimu yang berlagak sombong karena sedikit uang. Kamu nggak perlu memikirkan masalah investasi lagi.”
“Kamu!”
Wulan yang kesal pun mendengkus dingin, lalu berkata, “Dasar idiot! Sekarang kamu jadi jago omong, semoga nanti kamu tetap berani ketika sedang menagih utang.”
Selesai bicara, Wulan yang kesal pun turun dari mobil, lalu masuk ke dalam ruangan.
Luna dan Ardika juga ikut masuk.
Begitu masuk, mereka melihat ruangan yang luas. Di dalamnya, seorang pria berkalung emas sedang menggendong seorang sales cantik sambil meraba tubuhnya. Bekas luka di wajah pria itu terlihat menakutkan.
Melihat ada yang masuk, Herkules langsung berkata dengan wajah masam, “Sialan dari mana ini? Cepat keluar! Jangan ganggu kesenanganku.”
Setiap orang memiliki reputasi sendiri.
Ucapan Herkules membuat Wulan berkeringat dingin, dia pun berkata dengan gagap, “Kak … Kak Hercules, saya Wulan. Tuan Muda David merekomendasikan saya untuk datang beli mobil.”
Setelah mendengarnya, Herkules pun mengangkat alisnya dan tersenyum. Dia lalu berkata, “Ternyata Nona Wulan, silakan duduk.”
Sebelumnya, David memang sempat meneleponnya. Keluarga Buana merupakan keluarga kelas atas, jadi Herkules juga harus menghormati ucapannya.
Herkules akan melayani langsung setiap pembeli mobil mewah, itu juga merupakan salah satu cara dia berteman dengan para keluarga kaya.
“Siapa dua orang itu?” tanya Herkules yang bingung ketika menyadari dua orang di depan pintu.
Melihat perubahan sikap Herkules yang drastis, Wulan merasa senang. Seolah-olah ingin mencari pujian, Wulan pun berkata, “Kak Herkules, Anda masih ingat utang Keluarga Basagita, ‘kan? Dua orang pecundang itu datang untuk menagih utang.”
“Tapi, Anda tenang saja. Hal ini nggak ada hubungannya dengan saya, saya hanya datang untuk membeli mobil.”
“Ternyata begitu.”
Setelah mendengarnya, Herkules pun mengangguk. Sambil bersandar ke belakang, Herkules menatap Luna dan Ardika dengan matanya yang menyeramkan itu. Dia lalu berkata, “Ternyata ada orang yang berani menagih utang di kompleks penjualan mobil ini, sepertinya sudah bosan hidup.”
Merasakan sapuan dingin dari tatapan Herkules, Luna tanpa sadar mundur ke belakang. Dia lalu berkata, “Kak Herkules, Anda adalah orang yang pengertian, kami benar-benar membutuhkan uang sekarang ….”
“Kalau nggak, kami nggak bisa hidup lagi.”
“Huh! Terus apa hubungannya denganku?”
Setelah mendengkus dingin, Herkules pun berkata dengan sinis, “Di kompleks penjualan mobil ini, siapa pun yang datang, kalau aku nggak mau bayar, memangnya kamu bisa apa?”
Luna tersenyum getir, tatapannya dipenuhi oleh kekecewaan.
Saat ini, Ardika pun berkata dengan suara yang dalam, “Sejak kapan seorang Herkules berkuasa di kompleks penjualan mobil ini?”
Nama lengkap pria itu adalah Herkules Dienga. Dia sempat terkejut setelah mendengar ucapan Ardika.
Sambil mendengkus dingin, dia pun berkata dengan kesal, “Nak, kamu tahu apa yang kamu katakan?”
Wulan juga segera memarahi Ardika, “Dasar idiot! Kompleks penjualan mobil ini tentu saja dikuasai oleh Herkules! Cepat berlutut dan minta maaf kepada Kak Herkules.” Property © of NôvelDrama.Org.
Wajah Luna sudah pucat. Dia menarik lengan baju Ardika dengan panik dan menyuruhnya untuk diam.
Lalu, Ardika malah tidak takut dan melanjutkan, “Memangnya aku salah? Kompleks penjualan mobil ini adalah bisnis milik John Dienga, ‘kan? Kamu hanyalah seekor anjing penjaga.”
Dalam perjalanan kemari, informasi tentang Herkules sudah dikirim ke ponselnya Ardika. Herkules hanyalah anak buah John, John sendiri pernah menjadi prajurit di bawah Draco.
Setelah mendengarnya, urat nadi di kening Herkules tampak menonjol, tapi dia tetap berusaha menahan amarah di hatinya. Herkules lalu mengernyit sambil bertanya, “Kamu kenal dengan Tuan John?”
“Nggak kenal,” jawab Ardika dengan nada datar. John masih tidak pantas berkenalan dengan Ardika.
“Nggak kenal?” Ekspresi kejam terbesit di wajah Herkules, dia pun berteriak, “Nak, kamu mempermainkanku, ya?”
Pada saat ini, Wulan mengingatkan dengan niat jahat, “Kak Herkules, mana mungkin dia kenal dengan Tuan John. Namanya Ardika Mahasura, dia hanyalah seorang menantu pecundang di Keluarga Basagita.”
Menantu pecundang?
Herkules tertegun sejenak sambil membelalakkan kedua matanya.
Detik selanjutnya, Herkules yang seolah-olah menerima penghinaan besar langsung marah.
Suara bunyi tulang pun terdengar ketika Herkules mengepalkan tangannya. Dia menatap Ardika dengan tatapan yang menyeramkan.
“Bagus! Bagus! Bagus!”
Sambil menggertakkan gigi, Herkules berkata, “Sudah lama tidak ada berani mempermainkanku!”
Melihat Herkules marah, Wulan diam-diam menutup mulut sambil tersenyum. Dia berpikir dalam hati, ‘Dasar idiot! Mati saja kamu!’
“Kak Herkules, Kak Herkules, sabar dulu ….”
Luna yang panik juga tidak berdaya, dia pun mencoba membujuk, “Ardika hanya salah omong, tolong jangan masukkan ke dalam hati ….”
Sayangnya, Herkules tidak mau mendengarnya. Setelah dia melambaikan tangannya, belasan preman segera masuk ke dalam ruangan.
Satu per satu tampak besar dengan ekspresi garang.
Luna yang ketakutan hampir tidak bisa berdiri, untung saja Ardika berhasil memapahnya.
“Herkules, kamu sudah membuat istriku takut.”
Aura membunuh muncul di antara alis Ardika.
Lalu, Herkules sama sekali tidak menyadarinya. Dia masih berkata dengan kesal, “Memangnya kenapa kalau ketakutan? Berani mempermainkan diriku, hari ini kalian jangan harap bisa pergi dari sini.”
Herkules menatap Ardika dengan ekspresi garang, belasan preman juga sedang menunggu perintah dari Herkules.
Pada saat ini, ponsel Herkules tiba-tiba berdering.
Setelah melihatnya, ekspresi Herkules langsung berubah. Dia segera berjalan menjauh, lalu mengangkat teleponnya seperti seekor anjing yang penurut.
“Tuan John, kenapa Anda menelepon saya?”
“Apakah ada sepasang pria dan wanita yang datang menagih utang kepadamu? Salah satunya bernama Ardika?”