Bab 154
Bab 154 Mengeluarkan Livy
“Hiks, Bu Riani, aku nggak memukul Kevin. Dia… dia yang merebut mainanku. Lalu,
saat dia berlari, dia terpeleset sendiri.”
Di dalam ruangan, Livy tampak menaruh kedua tangan kecilnya di belakang. Bocah
perempuan lucu itu sedang berdiri di sudut ruangan sambil menangis tersedu–sedu
dan mencoba untuk membela dirinya sendiri.
Sementara itu, bocah lelaki yang bernama Kevin duduk di seberangnya dengan
hidung sedikit berdarah.
Bocah lelaki yang bernama lengkap Kevin Setiadi itu juga sedang menangis.
“Plak!”
Stefanus Setiadi, ayah Kevin langsung memukul meja dan berkata, “Berani sekali
bocah sialan sepertimu membela diri lagi. Kevin adalah anakku, aku tahu
bagaimana kepribadiannya. Dia adalah seorang anak yang sangat baik dan patuh. Lagi pula, dia punya banyak mainan. Mainan seperti apa yang belum pernah dia mainkan? Dia nggak akan berebutan mainan jelek seperti itu denganmu!”
“Baru sekecil ini saja sudah pandai memfitnah orang lain. Ternyata memang benar
kamu adalah anak yang nggak dididik oleh ayah dan ibu!”
Rebecca Remax, ibu Kevin juga mencibir dan berkata, “Bu Riani, Livy adalah anak yang berkepribadian buruk. Kalau dia sekelas dengan Kevin, aku khawatir dia akan membawa pengaruh buruk untuk putraku. Aku sarankan pihak sekolah mengeluarkannya dari sekolah!”
Mendengar dirinya akan dikeluarkan dari sekolah, tangisan Livy makin menjadi-
jadi.
“Hiks, aku nggak mau dikeluarkan dari sekolah. Bu Riani, tolong jangan keluarkan aku, ya? Aku adalah anak yang baik. Aku nggak memukul Kevin!”
Riani adalah seorang wanita muda yang baru lulus belum lama.
Melihat Livy menatap dirinya dengan tatapan penuh harap, dia merasa simpati pada
1/4
bocah perempuan itu. Dia pun berkata, “Pak, Du, biasanya Livy sangat patuh di
sekolah. Dia juga seting membantu teman sekelasnya. Dia nggak mungkin
berbohong…..”
“Bu Riani, apa maksudmu?!”
Rebecca langsung menyela ucapan guru muda itu, “Maksud kamu bocah yang nggak
punya ayah dan ibu itu nggak berbohong, jadi putra kami yang berbohong?”
“Bu, orang tua adalah guru terbaik anak–anak. Tolong jangan memberikan contoh nggak baik dengan melontarkan kata–kata kasar seperti itu di depan anak–anak,” kata Riani dengan nada yang lembut.
Banyak murid taman kanak–kanak ini yang mengetahui Livy tidak memiliki ayah
dan ibu, tapi entah siapa yang menyebarkan hal ini.
Kebanyakan anak–anak di sekolah ini adalah anak yang baik dan patuh. Mereka tidak akan mentertawakan Livy karena hal ini. Namun, tetap saja ada segelintir anak
-anak yang agak nakal dan jahat.
Terutama Kevin ini, dia sudah beberapa kali mengejek Livy karena tidak mempunyai ayah dan ibu.
Livy selalu dibuat menangis olehnya.
Dia sudah pernah menasihati bocah lelaki itu beberapa kali dan membicarakan hal ini kepada Stefanus dan Rebecca, tetapi putra pasangan ini tetap saja tidak berubah.
“Aku hanya berbicara apa adanya!”
Rebecca mendengus, sama sekali tidak ada tanda–tanda rasa bersalah di wajahnya.
“Bu Riani, sekarang bukan saatnya menceramahi kami.”
Stefanus berdeham, lalu berkata dengan nada seolah sedang memerintah, “Bocah sialan yang nggak punya ayah dan ibu ini berani memukul putra kami. Hari ini,
pihak sekolah harus mengeluarkannya!”
“Kalau kamu berani mengatakan putriku nggak punya ayah dan ibu lagi, percaya atau nggak aku akan menampar mulutmu sampai robek!”
Tiba–tiba, terdengar suara dingin dari belakang.
2/4
15 BONUS
Ardika dan Robin yang memasang ekspresi marah berjalan memasuki ruangan.
“Paman Ardika!”
Begitu mendengar suara familier itu, Livy langsung mendongak dan mengalihkan
pandangannya ke sumber suara.
Bocah perempuan itu menatap Ardika dengan berlinang air mata, ekspresi sedih
tampak jelas di wajah kecilnya itu.
Melihat pemandangan itu, hati Ardika seperti tersayat–sayat pisau. Dia bergegas
menghampiri bocah perempuan itu dan menggendongnya. RêAd lat𝙚St chapters at Novel(D)ra/ma.Org Only
Bocah perempuan itu membenamkan kepalanya dalam pelukan Ardika dan berkata sambil terisak–isak, “Paman Ardika, aku bukan bocah sialan yang nggak punya ayah
dan ibu. Ayahku sudah meninggal, aku masih punya ibu. Aku juga nggak memukul
Kevin ….”
“Livy anak baik, Livy nggak memukul orang.”
Ardika menepuk–nepuk pundak bocah perempuan itu dengan pelan untuk
menghiburnya.
Saat ini, Robin bertanya, “Bu Riani, sebenarnya apa yang terjadi?”
Dia dan Ardika baru saja sampai di depan pintu ruangan, mereka masih belum
mengerti apa yang terjadi.
“Karena mainan, Livy dan Kevin terlibat dalam perselisihan. Hidung Kevin berdarah.
Kevin bilang Livy memukulnya, Livy bilang Kevin terpeleset sendiri ….”
Riani menceritakan kejadian itu kepada mereka secara objektif.
Setelah mendengar ucapan guru Livy, Ardika berkata, “Bu Riani, bukankah mudah
saja? Tinggal periksa video rekaman kamera pengawasan saja.”
Bahkan pengamanan di pintu gerbang Taman Kanak–Kanak Candika saja sangat
ketat, pasti ada kamerą pengawasan juga di dalam kelas.
Riani menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ya, kami juga sedang memeriksa video rekaman kamera pengawasan ….”
3/4
*15 daki
“Untuk apa memeriksa video rekaman kamera pengawasan lagi? Bagaimana mungkin putra kami berbohong, pasti Livy yang sudah memukulnya!”
Stefanus berkata dengan marah, “Bu Riani, kamu sengaja membela Livy, ‘kan? Kalau begitu aku akan pergi menemui kepala sekolah kalian untuk menegakkan keadilan!”
Selesai berbicara, dia langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kepala
sekolah taman kanak–kanak ini.