Bab 44
Bab 44
“Selena, saat kamu hidup layaknya seorang putri, tahukah kamu betapa menyedihkannya Lanny? Aku pribadi pernah ke desa pegunungan tempat dia dulu tinggal, sunyi dan tandus, kebanyakan orang belum tentu bisa makan selama tiga hari. Aku dengar dia awalnya dibeli untuk dinikahkan dengan seseorang. Sejak kecil dia tumbuh seperti anjing yang terkunci di gudang kayu, dia hanya seorang putri kecil yang tak berdaya di Keluarga Irwin, tapi dia harus menjadi sapi di tempat seperti itu untuk dipekerjakan habis-habisan bagai kuda, bertahun-tahun menelan pahitnya hidup, dan tidak mudah baginya untuk datang ke kota besar. Padahal jika dia bertahan beberapa saat lagi, aku pasti akan dapat menemukannya!”
Selena dicekik olehnya hingga tidak bisa berbicara. Rasa sakit tercekik perlahan mulai datang, dia kemudian mendorong Harvey dengan tangannya. Tak kuasa air matanya telah jatuh, mencoba untuk membangunkan kewarasannya.
Harvey malah tenggelam dalam kenangan kesedihannya. “Dia dilecehkan oleh Arya si manusia kejam itu. Dicekik hidup-hidup olehnya dan dimasukkan ke dalam sebuah kotak, betapa putus asanya dia saat itu... lihat, sama seperti dirimu sekarang, tidak bisakah kamu sedikit merasakan penderitaannya?”From NôvelDrama.Org.
“Lepaskan... tanganmu!” perjuangan Selena seperti tidak ada gunanya. Mata Harvey berwarna merah, seolah-olah dia adalah binatang buas yang kehilangan akal sehatnya.
Selena tidak bisa mengatur napasnya. Dia tahu bahwa jika dia terus seperti ini, dia bisa dicekik sampai mati olehnya, jadi dia hanya bisa terus berjuang.
“Selena, padahal aku berniat melepaskanmu, tapi kamulah yang ingin menerobos masuk.”
Raut wajah Harvey menjadi makin menyeramkan, kedua matanya terlihat seperti kehilangan fokus, dia perlahan berkata, “Seli, bagaimana kalau kita mati bersama untuk menemani Lanny, dia pasti ketakutan di sana sendirian. Bukankah rasa sakit ini akan sirna kalau kita mati?”
Saat Harvey mengucapkan kata-kata seperti itu, Selena merasa bahwa Harvey sudah benar-benar gila. Saat dia berjuang melepaskan diri, Harvey menyentuh luka yang baru saja dijahit semalam, luka itu robek dan darah merembes keluar dari piama sutra putihnya.
Mata Harvey tampak memerah, baru setelah itu dia melepaskannya. Tubuh Selena seketika menjadi lemas, Harvey yang berniat melihat lukanya, direspons oleh Selena yang panik mundur ke belakang, menatapnya dengan wajah waspada.
Harvey dengan kaku menarik tangannya, kesadarannya baru saja kembali. Apa yang baru saja dia lakukan?! Dia hampir saja membunuh Selena!
“Tanganmu...” katanya dengan suara serak.
Namun, Selena telah bangkit dari lantai, mengambil jaketnya dari sofa, dan segera menerjang angin dingin meninggalkan kediaman Keluarga Irwin.
Saat dicekik oleh Harvey, dia benar-benar mengira dirinya akan mati. Yang ada hanyalah rasa dingin yang tak ada habisnya di balik sisa kehidupan setelah kematian. Ini adalah saat terdekatnya dengan kematian, dan ternyata dia tidak setenang yang dia bayangkan. Pikirannya hanya satu, kabur!
Harvey menatap tangannya dengan linglung, bagaimana dia bisa melakukan hal seperti itu pada Selena? Angin dingin yang mengamuk bertiup dari aula pintu masuk, memungkinkannya untuk
sementara waktu mendapatkan kembali akal sehatnya.
Terngiang dengan sosok Selena saat pergi dengan panik dalam kondisi salju tebal turun di luar, Harvey pun buru-buru mengejarnya.
Mendengar suara mobil datang dari belakang, Selena tanpa pikir panjang langsung bersembunyi di balik pohon. Sampai akhirnya, dia sudah keluar dari bahaya saat Harvey telah pergi. Namun, dirinya masih gemetar ketakutan.
Dia mengigil saat mengeluarkan ponselnya, di tengah keraguan dia menghubungi nomor Olga. Tak lama, suara riang Olga segera terdengar. “Ada apa, kamu merindukanku, ya?”
Selena segera menahan isak tangisnya dan menelan ludahnya. “Olga, bisakah kamu datang menjemputku?”