Bab 38
Bab 38
Bahkan, Selena pun berdiri dengan gontai dan tersenyum lemah. “Aku sudah menyukainya sejak pertama kali melihatnya, aku sudah mencintainya dari dulu dan aku ... nggak bisa
melepaskannya.”
Melihat jejak air mata di wajah Selena, membuat Lewis ingin membantu Selena menghapusnya. Namun, saat menyadari bahwa Lewis tidak berhak, dia hanya bisa menahan diri sambil menatap
Selena.
Selena tersenyum getir dengan air mata menggantung di dagunya yang lancip. “Aku tahu kalau sekarang aku terlihat memalukan, tapi begitu aku membayangkan kalau dia akan menikah dengan wanita lain, hidupku pasti akan lebih menyedihkan dibandingkan sekarang. Kalau memang hidupku sudah nggak ada artinya lagi, lebih baik aku mati saja.”
“Baru-baru ini aku sempat membaca sepatah kalimat, kalau memang kamu tidak ditakdirkan bersama orang ini, tapi kamu malah sangat mencintainya, apalagi yang kamu mau? Sebuah proses, sebuah hasil, atau melangkah pergi?” 1
Selena menertawakan dirinya sendiri. “Kalau aku nggak bertemu dengannya, aku pasti akan memilih pergi. Tapi, ada beberapa orang yang memang ditakdirkan untuk bertemu dan aku nggak bisa pergi darinya. Kami sudah berunding dan memutuskan kalau dia akan menemaniku selama sebulan, lalu kami akan bercerai. Pada saat itulah aku akan pergi melihat dunia yang kamu
bilang.”
Lewis memperhatikan Selena berjalan dengan langkah gontai sambil memegangi pundak kiri dengan tangan kanannya. “Lewis, aku sangat berterima kasih atas semua yang kamu lakukan padaku selama ini. Tapi, orang sepertiku nggak pantas menerima kebaikanmu,” kata Selena lagi tanpa menolehkan kepalanya.
THE
Selena berjalan menyusuri koridor yang dingin. Apalagi, di luar juga sedang turun salju lebat. Makin lama, sosok Selena terlihat makin menjauh.
Lewis merasa tidak tenang. Dia menatap Selena yang berjalan dengan langkah terhuyung- huyung lewat jendela kaca hingga sosoknya menghilang.
Lewis tersenyum putus asa. Padahal keadaannya sudah seperti ini, buat apa lagi Selena bertahan? Apakah semua ini pantas dipertahankan?
Lewis merasa Selena bagaikan orang lugu yang mencari sebuah kuil di tengah-tengah gurun pasir yang tidak akan pernah ditemukan selamanya.
Selena langsung menyalakan semua lampu begitu dia kembali ke rumahnya yang sangat besar dan mewah. Saat melihat rumah besar yang hangat di tengah-tengah hujan salju ini, rasanya seperti sedang kembali ke tiga tahun yang lalu.
Begitu Selena membuka pintu, udara hangat langsung memeluk dirinya. Dia mengganti alas kakinya dan berjalan beberapa langkah dan melihat seseorang yang sedang sibuk di dapur.
Sama seperti dulu, laki-laki itu tidak pernah pergi.
Laki-laki itu mengenakan sweater abu-abu dengan lengan yang digulung hingga ke siku, menunjukkan urat-uratnya yang menonjol yang membuatnya terlihat sangat maskulin. Ada bekas luka memanjang di lengan kirinya.
Ini adalah luka yang dia dapat tiga tahun yang lalu saat baru saja menjalin hubungan dengan Selena. Waktu itu, mereka bertemu dengan seorang rampok yang membawa pisau tajam dan ingin menusuk Selena. Dialah yang tanpa ragu menangkis serangan rampok ini.
Harvey yang sedang asyik memasak tiba-tiba dipeluk dari belakang oleh seseorang. Selena membenamkan kepalanya ke punggung Harvey dan membuat laki-laki ini tertegun.
Harvey melanjutkan masaknya sebentar, kemudian mematikan kompor. Harvey yang berdiri menghadap kompor tidak menolehkan kepalanya dan berkata dengan suara pelan “Habis dari
mana?” “Tanganku luka, terus pergi ke rumah sakit sebentar.”
Harvey cukup mengenali Selena. Dulu saat Selena mengalami luka kecil, dia bisa mengganggu Harvey seharian dan berkata bahwa lukanya ini cukup parah.Property belongs to Nôvel(D)r/ama.Org.
Harvey tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan Agatha. Dia tahu apakah Selena berniat
untuk mencelakai atau menolong Harvest.
“Makasih untuk hari ini, berkat kamu Harvest jadi nggak terluka.”
Setelah berkata demikian, Harvey memindahkan makanan di wajan ke atas piring dengan terampil dan pergi menghidangkan makanannya.
Selena diam mematung. Dia terkejut karena ini adalah pertama kalinya Harvey berterima kasih padanya. Tak lama, rasa terkejut itu sirna dan berganti menjadi rasa kecewa.
Mengucapkan terima kasih artinya sedang menjauh. Ingin rasanya Selena memberitahu Harvey kalau tangannya dijahit, dan sekarang rasanya sakit sekali, berharap Harvey mau meniup lukanya.
Namun, saat melihat sosok Harvey yang tinggi besar, Selena mengurungkan niatnya dan menelan kembali semua kata-katanya. “Ngapain bilang makasih? Aku toh benci banget dengan bocah itu dan sangat berharap dia terluka. Waktu itu kakiku cuma keseleo karena menolongnya.”